ELLE Magazine

 SCULPTING THE FUTURE

Menunjukkan taring sebagai perupa, sekaligus menajamkan rasa dalam perjuangannya menyuarakan pesan kemanusiaan. Rianty Rusmalia menarasikan dialognya

bersama Dolorosa Sinaga.

Dolorosa berarti jalan penderitaan, dalam Bahasa Latin. Namun hidupnya tak bisa dibilang menderita dan kesakitan. “But I restore the dying soul. Saya menghidupkan kembali mereka yang terbunuh, tertindas, dan teraniaya untuk hidup kembali dan bangkit membangun tembok kemanusiaan yang tidak bisa dirobohkan. They will never ever defeat us!” kata Dolorosa kepada ELLE. Lewat jalur seni rupa, karya-karya perempuan kelahiran 1952 ini banyak menyelisik dan menggugah hati nurani karena kerap menampilkan masalah keimanan, solidaritas, multikulturalisme, dan perjuangan perempuan. Menantang ranah seni kontemporer Indonesia dengan kedalaman rasa dan kegarangan pemikiran tentang berbagai persoalan manusia. Dolorosa Sinaga menyiratkan keliaran perspektif sekaligus pemikiran provokatif yang kian mengukuhkan posisinya sebagai seniman perempuan yang berjuang di jalur kemanusiaan.

Seorang perempuan pematung, pendidik, sekaligus aktivis yang gigih berkarya sejak 40 tahun silam. Dolorosa Sinaga lahir di Sibolga, Sumatera Utara, pada 31 Oktober 1953. Perjalanan berkeseniannya dimulai dari Fakultas Seni Rupa Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (kini Institut Kesenian Jakarta). Dua tahun pertama menjadi mahasiswi, Dolorosa meraih Penghargaan Utama dalam Kompetiti Seni Lukis Mahasiswa tingkat nasional di Indonesia. Dari seluruh mahasiswa IKJ saat itu, Dolorosa orang pertama yang lulus dari kampus. Ia kemudian meneruskan pendidikan di St. Martin’s School of Art di London, Inggris. Setelah itu, Dolorosa melanjutkan studi di Berkeley’s School of Arts, Amerika Serikat, pada 1984 jurusan seni rupa perunggu. Dolorosa terus mengasah ilmunya dengan kuliah lagi di Sonoma State University, Amerika Serikat.

Dolorosa tidak membatasi dirinya semata-mata pada praktik artistik seni. Baginya, seni perlu hadir menjangkau luas semua spektrum. Patung-patungnya bicara tentang pesan kemanusiaan dan penuh pernyataan politis. Pada karya bertajuk We Will Fight (2003), ia memunculkan figur para korban penindasan yang dibuatnya sebagai bentuk protes terhadap kejadian pengusiran keluarga miskin yang dilakukan atas nama pembangunan. Pada patung perunggu berjudul Solidaritas (2000), Dolorosa membentuk figur tujuh perempuan yang berdiri dan saling berjabat tangan. Karya ini terpajang di Komnas Perempuan dan markas IMF di Washington DC. Suatu bentuk respons atas peristiwa kerusuhan Jakarta tahun 1998 yang banyak menginjak-injak hak perempuan dan warga negara Indonesia, terutama etnis Tionghoa.

Pengalaman hidup, kegelisahan politik, eksplorasi artistik, dan letup-letup inspirasi mewujud dalam karya-karya Dolorosa. Sebagai seniman, ia telah berkarya lebih dari empat dasawarsa dan sudah menciptakan lebih dari 600 karya. Sampai hari ini, karya-karyanya diburu para kolektor nasional dan internasional. Bukan hanya karena nilai artistiknya, tapi juga karena kemampuan Dolorosa Sinaga dalam menyuarakan pesan-pesan kemanusiaan yang tak mampu diungkapkan melalui kata-kata.


Bagaimana kisah awal ketertarikan Anda pada seni?

“Sebagai seniman, bakat saya tidak tercipta sejak lahir. Tidak pernah ada cerita dari orangtua bahwa dulu saya suka mencoret-coret di atas kertas. So I don’t consider myself as a genius. Saya justru senang musik dan main piano sejak kecil tapi hobi itu tidak diteruskan. Pertemanan di ruang sosial yang akhirnya membuat saya punya kecintaan pada seni. Dan itu terjadi ketika duduk di bangku sekolah dasar. Kawan sebangku saya pandai menggambar dan membuat komik. Saya lantas ikut-ikutan menggambar dan akhirnya jadi menyukai seni. Semenjak itu saya memutuskan saya harus masuk sekolah seni. Lulus SMA tahun 1971, saya dengar ada sekolah seni baru dibuka, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta atau Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Setelah gagal diterima di Institut Teknologi Bandung, akhirnya saya kuliah di IKJ dan menekuni seni rupa.”

 

Masuk sekolah seni, apa opini orangtua Anda?

“Tentu ada pertentangan. Di zaman itu orangtua mana yang menyetujui anaknya masuk sekolah seni. Komentarnya ‘Mau makan apa kau jika sekolahnya di bidang seni?’ dan “Apa yang mau dikejar di bidang seni yang tidak ada aturan dan dunianya laki-laki itu?’. Saya dinasehati seperti itu malah semakin tertantang.” 

 

Karya-karya Anda sangat eksplisit menampilkan nada feminis dan kemandirian perempuan. Selain juga kerap menyuarakan pandangan yang menggelitik tentang kondisi sosial politik. Apa sebabnya karya Anda seringkali berangkat dari isu-isu tersebut?

Saya melihat peran seni dalam sejarah peradaban manusia sangat signifikan. Oleh karena itu saya memilih sikap untuk membawa karya ke ruang publik dan wilayah seni rupa sebagai bentuk pernyataan bagi kepedulian, Bagi saya yang berkecimpung di dunia aktivisme, membuat karya itu bukan sekadar menciptakan sesuatu. Berkarya itu harus menjadi teks kepedulian.” 

 

Bicara soal peran sebagai aktivis, dari mana asal sikap Anda yang konsisten menunjukkan pembelaan terhadap perempuan dan keberpihakan pada mereka yang tertindas?

“Semangat untuk membangkang itu sebetulnya berasal dari rumah. Ketiga kakak saya semuanya perempuan, maka bapak ketar-ketir ketika tahu saya lahir sebagai perempuan. Beliau berharap saya lahir sebagai anak laki-laki. Dan waktu kecil saya memang tidak seperti anak perempuan pada umumnya. Sukanya naik ke atas genteng, memanjat pohon, lari-lari mengejar layangan. Saya tumbuh dengan didikan keras kedua orangtua. Perlahan mulai muncul perasaan tidak ingin dikekang dan sangat senang memberontak. Kata ibu, waktu kecil saya tidak pernah mau disuruh mengenakan baju yang seragam dengan orang lain. Jadi sampai sekarang pun kalau ada aturan berpakaian tidak boleh pakai ini dan itu, maka yang dilarang itu yang saya pakai. Saya kemudian bergaul dengan kawan-kawan aktivis, melawan ketidakadilan dan menentang kekuasaan, dan rasanya semua itu sudah mengalir dalam darah saya.”

 

Konon Anda tidak pernah membuat patung laki-laki kecuali 5 sosok; Dalai Lama, Widji Thukul, Abdurrahman Wahid, Soekarno, dan Multatuli. Mengapa karya Anda nyaris selalu berakhir dengan figur perempuan?

“Betul, selalu nyaris menjadi perempuan karena d ibenak saya perempuan yang harus dibela. Tapi kemudian saya melihat tokoh kemanusiaan, sosok yang melawan rezim otoriter, figur yang mengumandangkan perdamaian dunia dan membuka pikiran bahwa penindasan manusia harus dihentikan. Mereka ini orang-orang yang layak ‘lahir’ di tangan saya sebagai karya seni.”

 

Ketika bikin patung, apakah Anda juga tidak mau diatur orang lain dan menolak arahan?

“Saya tidak menerima arahan dan justru bertanya. ‘Kalau Anda mau saya bikin patung seperti itu, bagaimana jika saya membuat sesuai interpretasi saya lalu Anda lihat hasilnya. Biasanya mereka langsung menyetujui dan sesudah menerima hasilnya, seringkali tidak ada lagi komentar dan arahan. Ketika saya memutuskan untuk membuat karya, maka saya bertanggung jawab dengan keputusan untuk menginterpretasi apa yang orang lain mau.”

 

Anda juga bergumul di ranah pendidikan. Nilai dan etos seperti apa yang Anda ajarkan kepada mahasiswa-mahasiswa Anda?

“Bahwa apabila kita punya minat besar dan mau bekerja keras, maka kita bisa mendapatkan ketajamannya orang-orang yang berbakat bahkan melampaui mereka. Artinya, tidak boleh merasa tidak bisa hanya karena tidak punya bakat. Bahwa ekspresi seni itu seperti alat komunikasi. Setiap berkarya, Anda harus punya cara untuk mengatakannya kepada publik. Penting juga untuk selalu membuka diri dengan dunia di luar wilayah seni rupa agar kita punya kepedulian di tempat-tempat yang lain sehingga memperkaya isi bagasi kita sebagai seniman. Terakhir, bahwa profesi seniman itu bukan sembarangan. Dalam peradaban sudah terbukti bahwa semua manusia punya potensi kreativitas yang luar biasa kekuatannya. Seni tidak pernah bisa lepas dari kehidupan manusia. Termasuk ketika sedang berbelanja baju dan menentukan mau warna yang mana, saat itu kita sedang menggunakan daya artistik kita untuk membuat pilihan.”

 

Anda percaya seni bisa mengubah dunia?

“Rasa-rasanya seni tidak bisa mengubah dunia, tapi yang pasti seni mampu menginspirasi untuk keadaan yang berubah. Kenyataannya, resistansi yang dihasilkan oleh ekspresi seni menjadi kekuatan yang menyadarkan manusia akan sesuatu yang perlu dibela. Gerakan-gerakan yang perlu didukung kerap kali terinspirasi oleh banyak karya seni dari berbagai disiplin. Mulai dari sastra, film, musik, tari, seni rupa, dan lain-lainnya. Saya tidak yakin untuk mengatakan bahwa seni bisa mengubah dunia, tapi secara lantang saya menyatakan bahwa seni sanggup menggerakkan perubahan.”

 

Apa agenda dan gagasan Anda selanjutnya?

“Di masa depan apakah saya akan berhenti mematung, jawabannya bisa ya atau tidak. Namun satu hal yang bisa saya pastikan, karya-karya seni saya akan terus memperlihatkan kepedulian dan pembelaan saya terhadap kaum perempuan sampai seluruh perempuan di dunia ini hidupnya sejahtera. Selain itusaya bercita-cita membangun milisi seni, suatu ‘kewajiban’ untuk melibatkan diri pada aktivitas seni. Sungguh saya ingin mewujudkan suatu keadaan di mana jumlah seniman di Indonesia harus lebih besar dari jumlah tentara yang ada di negara ini. Dengan demikian, maka saya bisa meyakini bahwa bangsa ini akan tumbuh sebagai bangsa yang ‘less violence’.”

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Devina Aurellia mahasiswa Esmod Jakarta untuk penelitian “The Creative Exploration of Sculpting Techniques in Couture Design in Indonesia”

ELLE Magazine